WALHI Tidak Benarkan Technology Termal Refuse Derived Fuel Atasi Sampah
JABAR- Pemerintah terkesan memaksakan proyek technology termal yang akan menimbulkan permasalahan baru carut-marutnya penanganan sampah. Pemanfaatan sampah menjadi Refuse-Derived Fuel (RDF) tidak pernah dibenarkan WALHI.
Pada tahun 2020, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat salah satu bagian dan anggota dari Allansi Zero Waste Indonesia (AZWI) telah sama-sama mengeluarkan statement bahwa RDF yang justeru akan menghadirkan masalah baru bagi pemerintah dan masyarakat.
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin, menegaskan rencana pemerintah tersebut mematahkan semangat komunitas yang selama ini telah menjalankan praktek zero waste untuk menyikapi sampah yang selama ini telah menjadi masalah besar persoalan sampah di Provinsi Jawa Barat.
Ia mengungkapkan bahwa proyek tekhnology termal ini di paksakan dijalankan pemerintah dengan dalih agar segera pase out dan energy untuk kebutuhan bahan baku pembakaran di PLTU serta di Industri lainnya.
Upaya pemerintah untuk mengatasi sampah dengan menghadirkan tekhnologi termal seperti PLTSa dan PSEL hanya akan menjadi solusi palsu, sikap WALHI selama ini tidak pernah mendukung menyikapi persoalan sampah dengan cara bakar, pemanfaatan sampah menjadi RDF tidak pernah WALHI benarkan.
"Cara tersebut tidak ada mekanisme pemilahan pada saat memproses serta memadatkan sampah yang campur menjadi RDF. Artinya ketika barang tersebut sudah dipadatkan dan selanjutnya di bakar maka zat berbahaya yang terkandung pada RDF tersebut akan menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan manusia serta menimbulkan pencemaran yang berdampak semakin buruknya kualitas udara," ungkap Wahyudin, Rabu (17/04/2024).
Seperti yang diketahui bersama, masalah Jawa barat selain darurat bencana saat ini masih mengalami darurat sampah yang berkepanjangan, adalah bukti dari ketidak-becusan pemerintah selama ini dalam mengatasi sampah. Salah satunya terus memaksakan rencana pengadaan tekhnologi PLTSa serta PSEL.
Hal ini tidak menceminkan mandat Undang-Undang Pengelolaan sampah Nomor 18 tahun 2008 dengan mendorong serta mengelola sampah dari sumber dan minimasi sampah dengan baik, sampah malah di jadikan RDF dan di jadikan bahan baku pembakaran untuk industri. Saat ini pemerintah telah mendistribusikan RDF ke beberapa industri salah satunya PLTU serta industri semen, hal tersebut yang WALHI anggap sebagai solusi palsu serta ketidak seriusannya pemerintah dalam mengatasi sampah.
Potret buruk lain pasca bencana kebakaran TPA Sarimukti, WALHI beserta alansi AZWI dalam kurun waktu dua tahun kebelakang telah merekomendasikan sampah food waste agar tidak dibuang ke TPA. Selain itu, WALHI terus mendorong pemerintah agar publik harus mulai membatasi penggunaan kantong plastik, namun rasanya saran serta rekomendasi WALHI tidak pernah di sambut baik.
"Alih alih tidak ingin repot dan pusing permerintah malah melakukan sikap dengan cara menghadirkan teknologi yang tidak ramah lingkungan serta tidak akan menjawab masalah sampah. Pemerintah memilih peluru yang sangat besar punya kewenangan serta anggaran namun ternyata hal tersebut tidak cukup mampu dapat mengurai masalah yang sangat serius. Tidak heran krisis iklim terus melanda dan bermuara terhadap munculnya berbagai kejadian bencana yang selama kurun 10 tahun kebelakang sudah dirasakan khalayak publik secara luas," imbuh aktivis yang akrab disapa Iwank.
Merespon situasi tersebut, WALHI masih tetap memegang keyakinan bahwa sampah dapat di urai mulai dari sumbernya dan dengan cara menerapkan 3R. selain itu public harus mulai membatasi penggunaan kantong plastik, serta produsen harus bertanggung jawab terhadap produk kemasannya.
"Dengan demikian, WALHI menyampaikan secara tegas, menolak segala bentuk tekhnologi yang caranya bakar-bakaran serta melahirkan hutang yang akan menambah beban serta kerugian negara," tegas Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat. (Red)