Sejarah Pemuda dan Keterlibatannya Saat Ini
BANDUNG - Lahirnya sumpah pemuda dalam sejarah dilatarbelakangi berbagai organisasi di Indoensia dan luar negeri. Di Indonesia seperti Boedi Uetomo (1908) dan Sarekat Islam (1911). Sedangkan organisasi berfilosofi kemerdekaan dari luar negeri seperti Indishie Partij (1912) dan Perhimpunan Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut berusaha menumbuhkan semangat nasionalisme karena mereka menyadari bahwa perjuangan melawan penjajah tidak cukup hanya dengan mengangkat senjata dan berjuang di daerahnya masing-masing, namun memerlukan persatuan dari berbagai daerah dalam bentuk organisasi. Hal ini dilakukan karena arah perjuangan harus dirubah. Sebab, para pemuda menyaksikan bahwa perjuangan raja-raja sebelumnya yang bersifat kedaerahan tidak mampu mengusir penjajah.
Tanggal 28 Oktober di peringati sebagai hari yang cukup bersejarah di Indonesia. Ini dikarenakan pada tanggal tersebut, 96 (Sembilan Puluh Enam) tahun yang lalu (tepatnya 28 Oktober 1928), para pemuda dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam berbagai organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Borneo, Jong Ambon dan Jong Sulawesi berkumpul di Batavia (Jakarta saat ini) mengadakan pertemuan akbar. Pertemuan akbar tersebut dilakukan dalam rangka menyusun kekuatan untuk berperang melawan penjajah, terutama Belanda yang kala itu sedang bercokol di Indonesia, (Kahin, 1952); (Ricklefs, 2001); (Noer, 1973); .
Pertemuan tersebut kemudian melahirkan yang kita kenal sekarang dengan Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda ini terdiri dari tiga kata kunci, yakni “Berbangsa satu, bangsa Indonesia; Bertanah air satu, tanah air Indonesia; Bertumpah darah satu, tumpah darah Indonesia”.
Dari ketiga kata kunci tersebut jelas menggambarkan bahwa para pemuda Indonesia kala itu sangat pro terhadap bangsanya. Mereka bersatu dalam keberagaman tanpa melihat perbedaan suku, agama, budaya dan bahasa. Sebab, mereka semua memiliki tujuan sama, yakni memperjuangkan supaya Indonesia merdeka.
Setelah 96 (Sembilan Puluh Enam) tahun Sumpah Pemuda tersebut diikarkan, satu pertanyaan refleksi untuk seluruh pemuda di Indonesia, “mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing, sejauh apa pengorbanan saya untuk Indonesia”? Ataukah saya selalu bertanya, “sebesar apa segala sesuatu yang diberikan negara kepada saya”? Soe Hoke Gie, salah seorang pemuda era tahun 50-an dalam bukunya “Catatan seorang Demonstran dan Buku, Cinta dan Pesta di Alam Bangsanya” yang terbit pada 2008 dan 2009 menyampaikan bahwa para pemuda harus melawan generasi tua, jika mereka dalam memimpin negara hanya mementingkan keluarganya, golongannya dan membiarkan korupsi merajalela.
Untuk itu, mari kita para pemuda Indonesia melihat kondisi negara saat ini. Masih banyak yang harus dibenahi, mulai dari pembangunan, sistem pendidikan, sistem hukum, karakter dan korupsi. Dari segi pembangunan, dan sistem pendidikan, masih terjadi ketimpangan yang cukup besar antara perkotaan dengan pedesaan, terutama pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya di luar pulau Jawa.
Demikian juga hukum cenderung masih tajam ke bawah. Rakyat kecil sangat rentan terhadap ketidakadilan. Sedangkan mereka yang memilik jabatan bisa seenaknya membayar oknum penegak hukum supaya terbebas dari jeratan hukum yang berat. Padahal, menurut Thomas Hobbes (1651) dalam bukunya The Leviathan dan John Locke (1689) dalam bukunya Two Treatises of Government tidak seorang pun manusia yang kebal terhadap hukum. Menurut mereka, semua manusia harus tunduk terhadap hukum yang berlaku dalam sebuah negara. Sebab, hukum itu bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia supaya aman dan damai, jauh dari pertikaian. Bagi para pelaku atau mereka yang menimbulkan keributan harus dihukum dengan tegas tanpa ada perbedaan.
Korupsi masih mengancam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Uang yang seharusnya diperuntukkan untuk membangun, malah dikorup secara sepihak oleh para koruptor. Ketika para koruptor tersebut ditangkap, hukumannya lebih ringan dibandingkan dengan seorang nenek yang mencuri sandal jepit karena pengaruh kemiskinan (baca kasus korupsi di perpajakan yang dilakukan Gayus Tambunan 2010).
Karakter yang dinilai kurang terpuji masih menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat luas, termasuk di kalangan pemuda. Bahkan, saking pentingnya pendidikan karakter tersebut, telah diadopsi dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Dimasukkan mata pelajaran karakter dan budi pekerja ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi bertujuan supaya generasi mendatang dapat memiliki karakter jauh lebih baik dari generasi saat ini.
Karena itu, para pemuda tidak hanya menjadi generasi yang mewarisi, namun generasi yang mampu merubah keadaan menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Sejak dini harus ditanamkan bahwa para pemuda harus kritis melihat kehidupan masyarakat dalam negara, terutama untuk menghindari korupsi, malas dan kurang memiliki semangat berjuang, Tan Malaka (1847-1979); Soekarno (1901-1970); Hoegeng Iman Santoso (1921-2004).
Di tangan pemuda, digantungkan cita-cita, baik dalam keluarga, masyarakat maupun berbangsa dan bernegara. Bangkitlah para pemuda, nasib negara ini kedepan berada di tangan Anda. Keluarlah dari zona nyaman, terus berjuang membenahi karakter-karakter yang kurang baik. Katakan tidak pada korupsi, narkoba, alkohol, judi, dan hilangkan budaya instan dan asal jadi. Buka mata Anda untuk mengamati kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat pertambanan dan perkebunan. Air, udara dan tanah tercemar akibat lapisan ozon yang semakin menipis, (UNEP 2023); (IPCC 2023).
Sebagai pemuda, kita harus memikirkan (bahkan bertindak) nasib bangsa ini kedepan. Ubah pola pikir yang sempit, yang hanya memikirkan keuntungan materi namun mengorbankan alam dan masa depan generasi berikutnya. Disamping itu, ubah pola pikir atau karakter yang sering menghakimi seseorang maupun kelompok lain atas nama agama, seperti yang terjadi di Bekasi baru-baru ini (Baca Detik.com, 27 September 2024; Tribun Tangerang, 27 September 2024-red).
Yang harus dipahami oleh seluruh warga negara adalah Negara Indonesia ini dirikan berdasarkan Pancasila, bukan berdasarkan atas satu suku dan satu agama. Manakala sifat-sifat intoleransi seperti ini masih terus terjadi, artinya kita masih belum mampu melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Jika Indonesia ingin menjadi negara maju pemerintah harus tegas dalam memberantas segala bentuk karakter yang menyimpang dari Pancasila.
Penulis: Juri, M.Pd (Mahasiswa Doktoral)