Salam Tiga Jari Kyai Ma'ruf dan Absennya Jokowi di HUT PDIP

Salam Tiga Jari Kyai Ma'ruf dan Absennya Jokowi di HUT PDIP

Smallest Font
Largest Font

Wapres KH. Ma'ruf Amin mengacungkan tiga jari sebagai simbol salam metal sekaligus nomor urut milik Paslon Ganjar-Mahfud. Momen menarik ini terjadi di tengah kemeriahan Hari Ulang Tahun (HUT) ke 51 PDI Perjuangan di Lenteng Agung, Jakarta.

Presiden Jokowu sendiri bagaimana ? Salam dua jarikah ?  Tentu saja tidak. Bukan karena sebagai Presiden ia tidak menghormati sahibul hajat sebagai bentuk sopan santun politik. Tetapi karena memang tidak hadir, absen. Inilah ketidakhadiran pertama kalinya Jokowi di acara penting partai yang pernah memberi jalan dan mengantarkannya ke puncak karir politik.

Posisi Kyai Ma'ruf

Kembali ke salam tiga jari Wapres. Ada dua kemungkinan yang bisa dibaca dari kesediaan beliau mengacungkan salam metal itu. Pertama, hal itu adalah bentuk tatakrama politik. Dalam kapasitas sebagai pejabat negara, setingkat Wapres pula, tidak elok rasanya jika tuan rumah mengajak beliau untuk memeragakan simbol-simbol tertentu dari partai yang bersangkutan lalu menolak.

Itu sebabnya, selain salam metal tiga jari, Kyai Ma'ruf juga tidak lupa memekikkan kata "Merdeka" di akhir sambutannya. Pekik "Merdeka" adalah ciri khas lain dari PDI Perjuangan. Ringkasnya, salam tiga jari Wapres tak lebih tak kurang hanyalah fatsoen politik yang harus dilakukannya dalam kapasitas sebagai pejabat negara.

Kedua, salam tiga jari Kyai Ma'ruf bisa juga dibaca sebagai isyarat politik, bahwa secara pribadi beliau mengendors Paslon Ganjar-Mahfud, karena beberapa argumen berikut.

Pertama, PDIP berperan amat menentukan pada saat penetapan Kyai Ma'ruf (menggantikan Mahfud) di ujung waktu pendaftaran Paslon ke KPU pada Pilpres 2019 silam. Kedua, hubungan Kyai Ma'ruf dengan Mahfud sebagai sesama tokoh NU sangat dekat, jauh dibandingkan dengan Prabowo apalagi Gibran. Ketiga, sejauh ini, selama hampir lima tahun perjalanan mendampingi Jokowi, Kyai Ma'ruf praktis tidak pernah memiliki masalah dengan PDIP, hubungannya dapat dikatakan harmoni sejak awal hingga saat ini.

Pada saat yang sama, belakangan Kyai Ma'ruf juga beberapa kali "tampil" dengan komentar yang Nampak berjarak dengan pilihan sikap Jokowi dan kubu Prabowo-Gibran. Yang terakhir misalnya soal debat ketiga kemarin. Berbeda dengan komentar Jokowi yang cenderung negatif terhadap jalannya debat. Kyai Ma'ruf justru menilai debat itu positif. Seperti dikutip berbagai media, Kyai Ma'ruf mengungkapkan penilaiannya :

"Kalau saya melihat perdebatannya bagus, terbuka dan artinya mereka berdebat. Terutama ya sesi perdebatan itu saya kira menarik" (detik.com, 9/1/2024). Beberapa pekan lalu, Kyai Ma'ruf juga sempat mengritik tajam kelakuan Zulhas yang dinilai mengolok-olok kaidah agama terkait istilah "Amin" dan jari telunjuk dalam sholat. Sahihkah bacaan ini, kita tunggu dalam beberapa hari ke depan menjelang 14 Februari nanti.

Absennya Jokowi 

Di depan sudah disinggung, bahwa Presiden Jokowi tidak hadir dalam acara HUT ke 51 PDIP. Dan sekali lagi, ini ketidakhadiran untuk pertama kalinya. Secara teknis pihak Istana sudah menginfokan, bahwa Presiden ada agenda yang sudah lama dijadwalkan, yakni kunjungan ke beberapa negara ASEAN. Itu sebabnya, beliau (pastinya) mendelegasikan kepada Wapres untuk hadir.

Namun demikian, penjelasan pihak istana tetap saja memicu spekulasi publik. Bahwa ketidakhadiran Jokowi diduga sengaja untuk menghindar. Spekulasi ini bukan tanpa alasan tentu saja. Publik faham betul hubungan Jokowi-Megawati merenggang sejak Gibran maju sebagai Capresnya Prabowo.

Banyak pihak membaca ketidakhadiran Jokowi adalah sinyal kesekian, bahwa ia sudah selesai dengan PDIP, dan sedang mempersiapkan diri dengan jalan baru politiknya. PSI atau Golkar kerap disebut-sebut sebagai bakal jalan baru politik itu. Starting pointnya adalah Pilpres 2024 yang harus dimenangkan Prabowo-Gibran.

Masalahkah bagi publik ? Tentu saja tidak. Itu pilihan Jokowi sebagai pribadi. Menjadi masalah ketika lanskap relasi-relasi yang merapuh ini kemudian mengganggu fokus, soliditas dan kinerja pemerintah secara kolektif. Kemungkinan ini bisa terjadi lantaran masing-masing pejabat, dimulai dari Presiden, Wapres dan para Menteri saat ini terbelah ke dalam, terutama dua kubu : Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran.

PDIP susah Move On

Terakhir sebuah catatan, anggap saja semacam "kado" ulang tahun untuk PDIP. Dalam pidatonya di acara ulang tahun tadi siang itu, Megawati kembali mengumbar sentilan-sentilan menohok. Dan publik faham, sentilan tajam ini nampaknya diarahkan pada pemerintahan Jokowi serta kubu Prabowo-Gibran yang didukungnya.

Diantara catatan kritis Megawati, dua poin menurut hemat saya penting dicermati dan coba dimuhasabahi oleh para elit yang saat ini sedang bertarung. Keduanya berkenaan dengan perhalatan Pemilu saat ini.

Pertama, lontaran lugas Megawati bahwa Pemilu bukan alat kekuasaan elit untuk melanggengkan kekuasaannya. Dia menyebut, pemilu memiliki moral dan etika yang harus dijunjung tinggi. Karena itu, dia mengingatkan agar tidak ada kelompok yang merasa paling berkuasa. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya (Kompas.Com, 10/1/2024).

Kedua, Megawati juga menyoroti isu intimidasi yang dialami rakyat dalam Pemilu saat ini. Dilansir dalam Kompas.Com, Megawati mengungkapkan, "Pencermatan saya, akhir-akhir ini sepertinya arah pemilu sudah bergeser, ada kegelisahan rakyat akibat berbagai intimidasi," Lalu disebutnya beberapa contoh kasus intimidasi yang dialami seorang mahasiswa, seorang ketua RT dan serang ibu, termasuk insiden Boyolali yang telah memakan korban dari relawan Ganjar-Mahfud.

Keras. Lumayan keras sebetulnya warning Megawati. Dan sekali lagi, publik faham, ini diarahkan kepada Jokowi dan sekutunya di kubu Prabowo-Gibran. Anehnya, hingga saat ini beberapa elit PDIP masih tetap saja berharap "cipratan" berkah elektoral dari Jokowi. PDIP susah move on !

Editors Team
Daisy Floren