Perbedaan Versi di Sidang Sumpah Palsu: Kuasa Hukum Saksi Kritik Pembelaan Ike Farida

Perbedaan Versi di Sidang Sumpah Palsu: Kuasa Hukum Saksi Kritik Pembelaan Ike Farida

Smallest Font
Largest Font

Perbedaan Versi di Sidang Sumpah Palsu: Kuasa Hukum Saksi Kritik Pembelaan Ike Farida

Jakarta - Perkara sumpah palsu Ike Farida yang bergulir secara maraton di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah selesai memeriksa saksi fakta dan ahli, dan pada hari ini, Jumat (8/11/2024)  berlanjut mendengarkan keterangan terdakwa Ike Farida.

Dalam keterangannya, Ike Farida menyampaikan bahwa permasalah dengan pengembang diawali  ketika pesanan unit apartemen yang menggunakan Persek Farida Law Office ditolak pengembang karena Persek (Pesekutuan) bukan badan hukum sehingga pengembang mengatakan tidak bisa melanjutan  Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), kemudian terdakwa mengubah surat pesanan menjadi nama pribadinya. Lalu pihak pengembang menanyakan apakah terdakwa memiliki perjanjian perkawinan pisah harta dengan suami terdakwa yang warga nega asing. Namun karena terdakwa tidak memiliki perjanjian perkawinan pisah harta pengembang mengatakan PPJB tetap tidak bisa dilakukan, terdakwa tidak terima dengan pernyataan pengembang tersebut, dan terdakwa meyakini PPJB harusnya bisa dilakukan tanpa harus ada perjanjian perkawinan, karena terdakwa pernah membeli aset tanah dan bangunan setelah pernikahan dan tidak ada kendala.

“Saya pernah membeli aset setelah menikah tapi tidak ada kendala sama sekali (dalam pembuatan PPJB), dan menurut email yang saya terima dari notaris Eva menyatakan bisa PPJB tetapi harus ada dokumen yang dilengkapi dari pihak pengembang, dan pengembang tidak mau melengkapinya,’’ kata Ike Farida, Jumat (8/11/2024).

Terdakwa Ike Farida mengakui dia pernah minta kompensasi keterlambatan PPJB, AJB dan serah terima unit apartemen, karena itu terdakwa mengajukan gågatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 20. Gugatan ini ditangani oleh Kantor Hukum Isdawati dan Rekan, termasuk terkait adanya bukti berupa Surat Kanwil BPN DKI Jakarta itu sepenuhnya diurus oleh Kantor Hukum Isdawati.

Terdakwa juga menyatakan menolak upaya pengembalian uang dari pengembang, karena terdakwa tidak terima pemutusan perjanjian secara sepihak oleh pengembang, termasuk melalui penetapan konsinyasi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur ditolak oleh terdakwa dengan mengajukan kasasi terhadap penetapan konsinyasi, dan dikabulkan.

Ketika menjawab pertanyaan JPU terkait sumpah novum yang dilakukan Nurindah M.M. Simbolon, terdakwa juga menyampaikan bahwa terdakwa tidak terlalu paham bagaimana prosedur mengajukan Peninjauan kembali, termasuk tidak tahu kalau pengajuan novum harus ada sumpah novum.

Mendengar pernyataan itu JPU terlihat tidak percaya, lalu kemudian terdakwa maju ke hadapan Majelis Hakim menunjukkan buku-buku karyanya, dan menyatakan bahwa kendati ia seorang doktor hukum namun keahliannya adalah di bidang hukum ketenagakerjaan, terdakwa mengakui tidak terlalu paham bersidang litigasi.

“Yang Mulia ini buku-buku karya saya, saya walau seorang doktor hukum, namun bidang saya lebih kepada hukum ketenagakerjaan yang mulia, saya tidak menekuni litigasi seperti halnya Pak Kamarudin (menunjuk ke arah kuasa hukumnya),” imbuh Ike Farida.

Ketika ditanya JPU apa makna catatan kaki (footnote) dengan kode ifo, terdakwa menyatakan bahwa itu dibuat untuk menandai bahwa dokumen surat sudah periksa dan disetujui olehnya.

Ketika ditanya JPU tentang alasannya mengajukan permohonan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) bterhadap Undang-Undang Perkawinan yang mengatur perjanjian perkawinan pisah harta, terdakwa menyatakan bahwa sebagai orang yang mengerti hak-hak konstitusionalnya maka terdakwa menempuh jalur hukum yang tersedia. 

Terdakwa juga mengakui bahwa dalam mengajukan permohonan JR ke MK terdakwa mendapat dukungan anggota Perkumpulan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (PerCa Indonesia), karena banyak juga anggota perkumpulan ini yang mengalami kasus serupa dengannya, dan kesulitan dalam membeli aset.

Keterangan terdakwa tersebut, berbeda dengan keterangan saksi fakta dari Nurindah M.M. Simbolan, Senin (25/10/2024), yang menyatakan bahwa memori Peninjauan Kembali yang menyertakan tiga bukti baru atau novum tersebut sudah dibahas dan diberi paraf persetujuan dari Ibu Ike Farida sebelum diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan Nurindah hanya mewakili Ibu Ike berdasarkan surat kuasa yang diberikan kepadanya.

Pernyataan Nurindah tersebut diperkuat oleh kuasa hukum Nurindah, Lammarasi Siholoho dan Bambang Ginting dalam pernyataannya kepada media, Jumat (25/10/2024).

"Sebagai Advokat baru di kantor Farida Law Office, mana mungkin Nurindah berbuat tanpa izin dan persetujuan Ike Farida sebagai Advokat senior sekaligus bos di kantor Farida Law Office. Kami heran mengapa Ike Farida mau mengakui hasil kemenangan Peninjauan Kembali tetapi tidak mau mengakui prosesnya", tutur Lammarasi didampingi Bambang.

Pada sidang pemeriksaan ahli pidana sebelumnya, Kamis (31/10/2024), ahli pidana Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH., MH., M.BA., juga menjelaskan bahwa doktrin unsur pemidanaan harus ada opzet (kesengajaan), actus reus (perbuatan salah) dan mens rea (niat jahat).

Dalam kasus sumpah palsu Ike Farida unsur pemidaan tersebut dimulai ketika PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) tidak bisa dilaksanakan kemudian pengembang berniat mengembalikan uang yang telah dibayarkan, dan bahkan telah mengajukan konsinyasi ke  Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan dikabulkan, namun Ike Farida malah melaporkan pengembang ke polisi dengan tuduhan penggelapan dan dihentikan karena tidak ada unsur pidanya (SP3), kemudian Ike Farida mengirim somasi sebanyak tiga kali dan berlanjut menggugat pengembang dengan tuduhan wanprestasi hingga perkaranya berlanjut sampai hari ini.

“Jadi tadi sudah saya terangkan di depan sidang, bahwa katanya upaya hukum kalau saya bilang itu suatu mens rea (niat jahat), ngasih somasi tiga kali berturut-turut tiga minggu, yang kedua laporin pidana di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan karena tidak ada bukti adnya delik pidana), yang ketiga pihak perusahaan (pengembang) menitipkan uangnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur kemudian dibantahnya (Ike Farida) gak mau ngambil, yang keempat dia menggugat perdata, yang kelima terjadinya PK (Peninjuan Kembali dengan novum yang seolah-olah baru ditemukan) itu. Apa itu bukan mens rea, katanya itu upaya hukum, tapikan itu menyerna habis dengan berbagai cara,” kata ahli pidana Suhandi kepada Wartawan, Kamis (31/10/2024).

“Terkait terpenuhi atau tidak Pasal 242 biarlah Majelis yang menilai, begitu juga bersalah atau tidaknya (Ike Farida) biar Majelis yang menentukan,” imbuh Suhandi lebih lanjut.

Kuasa hukum Ike Farida sempat mempertanyakan mengapa Hakim Ketua tidak memberi peringatann terlebih dahulu sebagaimana Pasal 174 KUHP sebelum ditetapkan pidana sumpah palsu Pasal 242 KUHP? “Karena sumpah sudah dilakukan dan novum telah digunakan dalam perkara perdata sebelumnya,” kata ahli Suhandi.

Kemudian kuasa hukum Ike Farida, Kamaruddin Simanjuntak juga menanyakan pendapat ahli kalau ada surat Kapolri kepada Polda Metrojaya yang tidak mens rea dan actus reus dalam perkara ini. Ahli menjawab bahwa ahli tidak pernah melihat surat tersebut. Kamaruddin juga mempertanyakan pendapat ahli mengenai penerapan Pasal 55 KUHP, dan ahli menjelaskan bahwa perbuatan pidana kemungkinan dilakukan lebih dari satu orang atau dan kawan-kawannya.

Sebagaimana diketahui, bahwa dalam kasus sumpah palsu dengan terdakwa Ike Farida berkaitan dengan sumpah novum dilakukan oleh Nurindah Melati Monika Simbolon berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh Ike Farida. 

Perkara ini berkembang menjadi laporan pidana sumpah palsu, karena sumpah novum yang dilakukan Nurindah tersebut menyertakan novum Surat Kanwil BPN DKI Jakarta Nomor 3212 tertanggal 27 November 2015 yang sudah pernah digunakan pada perkara sebelumnya di Pengadilan negeri Jakarta Selatan dan tertera dalam salinan putuÅŸan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2015 yang dituliskan sebagai bukti P-65. (Red)

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Resky Author