Pengekangan Daya Kritis Masyarakat diera Demokrasi Merujuk UU 11 Tahun 2008
Pengekangan Daya Kritis Masyarakat diera Demokrasi dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Penulis : Ali Zubeir Hasibuan, SH
Mahasiswa Magister Hukum Pascasarjana Universitas Pamulang.
Apa Itu Berpikir Kritis?
Defisini paling sederhana dari sikap atau berpikir kritis adalah kemampuan untuk memecahkan permasalahan, mempersoalkan atau mempertanyakan sesuatu hal. Rocki Gerung mengatakan, berpikir kritis artinya bercakap dalam ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik. Ironisnya, hari-hari ini orang mengidap resistensi terhadap kritik. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya pembangunan (Warta Feminis, 5/12/2017)
Berpikir kritis berarti mempertimbangkan suatu bentuk pengetahuan atau keyakinan yang diterima begitu saja (taken for granted) secara aktif, terus menerus, dan teliti dengan menyertakan alasan, mengedepankan fact-checking, dan mengambil kesimpulan yang logis. Intinya, upaya memulihkan akal sehat publik. Dalam bukunya yang berjudul Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, Richard W. Paul berargumen bahwa berpikir kritis berkenaan dengan proses disiplin-intelektual yang menuntut individu untuk terampil dan aktif dalam memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, dan/atau mengevaluasi informasi berdasarkan observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, dan komunikasi yang dilakukan.
Bagi Paul, kegiatan ini dapat dijadikan pedoman untuk meyakini sesuatu dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut. Berdasarkan rujukan di atas, secara filosofis berpikir kritis bukanlah dimaksudkan untuk menyerang, mencari kesalahan, atau menjatuhkan orang lain, melainkan mengajukan argumen secara rasional untuk menghindari kesalahan berpikir dan melahirkan sebuah pandangan logis terhadap suatu hal.
Oleh karena itu, berpikir kritis tidaklah mudah karena kita dituntut untuk memiliki keterampilan intelektual dan komitmen untuk memahami dan memproses informasi yang kita terima dari sumber manapun. Selain itu, kedewasaan berpikir dan kebijaksanaan sangat diperlukan dalam kegiatan ini karena tidak semua orang mudah menerima kritikan, khususnya bagi rezim yang berkuasa, sehingga dibutuhkan sikap besar hati untuk secara sportif menerima kritikan sebagai bentuk masukan positif guna terus memperbaiki diri. Melatih diri berpikir kritis sebagai sebuah keterampilan (skill), berpikir kritis membutuhkan pengetahuan, kemampuan berbahasa, kreativitas, dan komitmen intelektual selain itu berpikir kritis membutuhkan proses yang tidak singkat.
Berpikir kritis tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak mungkin bisa dilakukan. Mengembangkan cara berpikir kritis dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali suatu permasalahan serta menentukan cara atau strategi untuk mencari solusi atas suatu permasalahan. Kemudian, kita juga dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yaitu dengan cara mencari informasi yang relevan sebanyak-banyak untuk membongkar maksud dan tujuan di balik suatu gagasan tertentu.
Selain itu, kita juga harus memiliki keterampilan bahasa yang baik karena dalam mengkritisi suatu persoalan kita akan menuangkan kritikan kita dalam bahasa yang komprehensif, lugas, dan tidak bertele-tele. Hal ini ditujukan supaya kritik tersampaikan dan dapat dimengerti dengan baik kepada yang dituju. Budaya masyarakat, maraknya fenomena post-truth, ujaran kebencian, hingga disinfomasi di era digital ini semakin menuntut kita untuk bersikap kritis terhadap segala hal. Jika tidak, kita akan terjerumus dan “terjebak” secara emosional dalam konten pemberitaan yang kadang menyesatkan.
B. Demokrasi Terbuka
Demokrasi Terbuka menggambarkan model demokrasi baru yang membuka kekuasaan kepada warga negara biasa dan dapat memperkuat inklusivitas, daya tanggap, dan akuntabilitas dalam masyarakat modern.
Bagi orang Yunani kuno, demokrasi berarti berkumpul di depan umum dan memperdebatkan undang-undang yang ditetapkan oleh beberapa ratus warga yang dipilih secara acak. Bagi bangsa Viking Islandia, demokrasi berarti pertemuan setiap musim panas di lapangan untuk membahas berbagai masalah hingga konsensus tercapai. Demokrasi perwakilan kita saat ini sangat berbeda. Parlemen modern memiliki gerbang dan penjagaan yang ketat, dan tampaknya hanya orang-orang tertentu – yang memiliki latar belakang, aksen, kekayaan, dan koneksi yang tepat – yang diterima. Mendiagnosis apa yang salah dengan pemerintahan perwakilan dan bertujuan untuk memulihkan keterbukaan yang hilang dari demokrasi kuno, Demokrasi Terbuka menghadirkan paradigma baru demokrasi di mana kekuasaan benar-benar dapat diakses oleh warga negara biasa.
Hélène Landemore lebih menyukai cita-cita “mewakili dan diwakili secara bergantian” dibandingkan pendekatan demokrasi langsung. Mendukung pemahaman non-elektoral yang baru mengenai keterwakilan demokratis, Landemore merekomendasikan agar lembaga-lembaga politik dipusatkan pada “publik mini terbuka” (open mini-public) – sebuah badan besar yang terdiri dari warga negara yang dipilih secara acak dan berkumpul untuk menentukan undang-undang dan kebijakan bagi pemerintahan, sehubungan dengan pemilu. publik yang lebih besar. Ia juga membela lima prinsip kelembagaan sebagai landasan demokrasi terbuka: hak partisipatif, musyawarah, prinsip mayoritas, perwakilan demokratis, dan transparansi. Demokrasi Terbuka menunjukkan bahwa menempatkan warga negara biasa, bukan elit, sebagai pusat kekuasaan demokrasi bukan hanya merupakan makna sebenarnya dari pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, namun juga layak dilakukan dan, lebih dari sebelumnya, sangat dibutuhkan saat ini.
Pujian untuk Demokrasi Terbuka
“ Dalam buku yang provokatif dan hebat ini, jawaban Landemore yang mengejutkan terhadap krisis demokrasi adalah demokrasi yang lebih baik. Karena ancaman terhadap demokrasi adalah pemerintahan oleh para pemimpin terpilih yang tidak dapat dipercaya, Landemore mengusulkan pembentukan—melalui proses seleksi acak—badan-badan warga negara biasa untuk memerintah dan terlibat dalam pembuatan kebijakan, yang mengandalkan kepekaan opini publik kolektif dan keberagaman warga suatu negara. Berambisi dan penting, Demokrasi Terbuka menyatukan kekayaan teori demokrasi dan contoh-contoh yang relevan dengan cara yang paling menarik.”
—Robert Y. Shapiro, Universitas Columbia
“Sangat diperlukan dan menginspirasi, Demokrasi Terbuka memberikan kritik mendalam terhadap kegagalan perwakilan pemilu dan eksplorasi mendalam terhadap inovasi demokrasi yang ditemukan atau diwujudkan dalam dekade terakhir untuk memerangi kegagalan ini. Siapa pun yang frustrasi dengan cara kerja demokrasi harus membaca buku ini.”
—Jane Mansbridge, Universitas Harvard
“Melibatkan berbagai literatur kontemporer dan perdebatan terkemuka, Demokrasi Terbuka memberikan kontribusi yang penting dan benar-benar orisinal terhadap teori dan praktik demokrasi. Landemore menyajikan pandangan baru dan radikal mengenai arah yang harus kita tuju dalam melakukan reformasi, renovasi, dan memikirkan kembali lembaga-lembaga demokrasi kita.”
—Simone Chambers, Universitas California, Irvine
C. Kajian Analisis terhadap UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Seiring berkembangnya pemanfaataaan dan penggunaan internet dan teknologi informasi sebagai media bertransaksi dan komunikasi secara elektronik menjadikan aktivitas sehari-hari kita menjadi lebih mudah dan cepat. Namun di sisi lain, ada beberapa dampak yang mempengaruhinya antara lain meningkatnya kejahatan cyber. Keamanan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan kejahatannya beradu dalam berbagai persoalan. Hal ini sesuai penjelasan umum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bahwa pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan pada teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang secara signifikan berlangsung dengan cepat (Wahyu Agus Winarno, 2011: 43).
Teknologi informasi disamping memberikan manfaat luar biasa dalam kehidupan sehari-hari, tidak dipungkiri menjadi pisau bermata dua, disebabkan selain memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan peradaban manusia, tetapi sekaligus menjadi sarana efektif melakukan tindak pidana. Kegiatan melalui media elektronik meskipun bersifat virtual, dapat dikategorikan sebagai tindakan nyata. Secara yuridis kegiatan pada ranah maya, tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja, disebabkan akan terlalu banyak hal yang lolos dari pemberlakuan hukum (Tika Andarasni Parwitasari, tanpa tahun : 88).
Pemerintah Indonesia pada tanggal 21 April 2008 menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE/ UU ITE). Undang-Undang ini memiliki yurisdiksi berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur UU ITE, baik yang berada dalam yurisdiksi Indonesia yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan negara.
Masifnya perkembangan media informasi dan transaksi elektronik memunculkan berbagai macam tindak pidana baru. Seringkali UU ITE disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk membuat laporan kepada pihak berwenang dan menyerang balik. Undang-Undang ITE dimaknai mengakibatkan keberlakuannya pasal karet. Contoh pada beberapa kasus Prita Mulyasari, Irfani, Baiq Nuril, Saiful Mahdi, Saridin Bangun, Cunheng, Jerinx, LBH Padang dan lainnya.
Pemerintah membuat kesepakatan difasilitasi Kemenko Polhukam, mengundang Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, dan Jaksa Agung untuk menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (SKB UU ITE). Harapannya agar penegakan hukum UU ITE tidak menimbulkan multitafsir dan menjamin terwujudnya rasa keadilan masyarakat (Kominfo, 23 Juni 2021). Terbitnya SKB UU ITE bukan menjadi jaminan tidak adanya upaya kriminalisasi, seperti kasus LBH Padang.
D. Kasus LBH Padang
Lembaga Bantuan Hukum Padang (LBH Padang) menyampaikan adanya dugaan pembungkaman partisipasi publik yang dilakukan Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Polda Sumbar). Bermula saat LBH Padang mengawal dugaan korupsi dana Covid-19 di Sumatera Barat. LBH Padang mengambil peran pengumpulan data dan dokumen serta kampanye publik. Pada 29 Juni 2021, LBH Padang mengeluarkan sebuah “meme” mengkritik sikap Polda Sumbar atas penghentian penyelidikan dugaan korupsi dana Covid-19 dengan alasan kerugian negara telah dikembalikan sebesar Rp 4,9 miliar, sehingga tidak memenuhi syarat materiil sesuai ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. LBH Padang menanggapi penghentian penyelidikan tersebut. Akun LBH Padang mengunggah karikatur tentang penghentian penyelidikan dengan dugaan kerugian negara sebanyak 4,9 miliar (Andika Rahma, 15 Agustus 2021). Polda Sumbar selanjutnya melakukan pemeriksaan pengurus LBH Padang dengan delik dugaan tindak pidana menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) berdasarkan Pasal 28 ayat (2 ) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU ITE.
Apabila mencermati Surat Keputusan Bersama UU ITE, meliputi Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE, delik utama pada Pasal 28 ayat (2) tersebut menyatakan perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Apa yang dilakukan pengurus LBH Padang mengunggah karikatur di akun instagram nya, menurut penulis merupakan bentuk protes atas tindakan aparatur penegak hukum menghentikan penyelidikan kasus korupsi merugikan negara sejumlah 4,9 miliar. Tidak wajar bila LBH Padang kemudian dipanggil dan diperiksa pihak berwajib dengan alasan melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 A ayat (2) UU ITE.
E. Judicial Review Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan Judicial Review Undang-Undang ITE, antara lain: Pertama, Pasal 27 ayat (3) digugat di MK tahun 2008 dengan penggugat Iwan Piliang. Pada petitumnya menyebut: 1. Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945; 2. Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kedua, Pasal 27 ayat (3) digugat kembali di MK tahun 2009, oleh penggugat Edi Cahyono, AJI, PBHI, LBH Pers. Petitumnya mencantumkan pasal aquo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Materi muatan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dinilai melanggar asas lex certa dan kepastian hukum, sangat berpotensi disalahgunakan, tidak mencerminkan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan menyebarkan informasi serta berpeluang menimbulkan masalah jangka panjang. Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini memang sudah teruji 2 (dua) kali di MK dengan Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 dan Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009. Putusan MK tersebut menyatakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menegaskan pentingnya pengertian Pasal 27 ayat (3) UU ITE jika merujuk Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP dalam hal ada tuduhan pencemaran nama baik.
Ketiga, Pasal 28 ayat (2) UU ITE digugat di MK pada tahun 2013 dan tahun 2017. Penggugatnya M. Farhat Abbas yang menganggap Pasal 28 ayat (2) ini bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 terkait hak berkomunikasi dan menyampaikan pendapat. Ketentuan ini dinilai telah menimbulkan rasa tidak aman bagi pemohon dan warga negara Indonesia lainnya untuk berekspresi karena sewaktu-waktu dapat dipidana mengingat ancamannya lebih dari 5 (lima) tahun. Rumusan pasal tersebut juga tidak detail sehingga berpeluang digunakan untuk mempidanakan pihak lain (pasal generalis dan karet). Gugatan melalui perkara No. 52 PUU-XI/2013 akhirnya ditolak oleh MK. Mahkamah Konstitusi menilai penyebaran informasi yang dilakukan dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan individu. Bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
F. Perbuatan yang dilarang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Ada 2 (dua) macam perbuatan pidana yang dilarang berdasarkan UU ITE, mengacu ketentuan Budapest Covention on Cyber Crime:
Pertama, larangan berbuat jahat dengan sasaran IT (computer crime): lebih dikenal dengan perbuatan illegal acces, illegal intercept, illegal interference, perbuatan jahat berupa hacking, cracking, defacing, phreaking, dos attack, malicious code (penyebaran kode jahat), malware, spyware, trojan horse, adware, virus, bot net (robot internet), phising, identity theft, dan lain-lain.
Kedua, larangan berbuat jahat dengan menggunakan IT (computer related crime): merupakan penyebaran illegal content, seperti cyber gambling, cyber terrorism, cyber fraud (penipuan kartu kredit), cyber sex, cyber attacks on critical infrastructure, cyber blackmail (pemerasan), cyber threatening (pengancaman), cyber aspersion (pencemaran nama baik), dan lain sebagainya. Dasarnya adalah norma-norma yang sudah ada di dalam KUHP (Henry Subiakto, 2021).
Adanya SKB UU ITE sebagai upaya pemerintah memberikan buku saku panduan bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan profesinya dan bukan merupakan penyelesaian final, mengingat terdapat kategori maupun kondisi tertentu yang memungkinkannya tidak mengindahkan SKB dimaksud.
Pemerintah perlu mempersiapkan perubahan Undang-undang Informasi Teknologi Elektonik dengan menyerap berbagai aspirasi masyarakat, dan stakeholder terkait secara maksimal dan efektif serta tetap mengakomodir aspirasi Pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.(bar).