Pahlawan, Selebriti dan Pilkada
Bandung - Bulan Nopember ini, ada sebuah kajian menarik yang menggelitik tangan saya untuk bermain di atas keyboard lapthop guna merangkai kata menjadi sebuah kalimat dan kalimat menjadi sebuah paragraf. Beberapa Fakta menarik di bulan ini, antara lain: 1) tanggal 1 khususnya umat Katolik merayakan misa Jumat pertama setiap awal bulan. Sedangkan tanggal 2 memperingati hari raya orang beriman, yang lebih dikenal dengan “Misa Arwah”, umat Katolik di seluruh dunia merayakan misa untuk mendoakan arwah orang-orang yang telah meninggal dunia, baik di Gereja maupun di komplek pemakaman; 2) tanggal 10 diperingati sebagai hari pahlawan untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur dalam pertempuran hebat di Surabaya guna mengusir penjajah sekutu dan NICA yang akan kembali menjajah Indonesia; 3) tanggal 27 merupakan pelaksanaan Pilkada serentak untuk memilih Gubernur, Bupati/Wali kota di seluruh tanah air.
Meminjam istilah Profesor Karim Suryadi, bahwa pahlawan, selebriti maupun pemilu adalah orang-orang yang ada didalamnya diasumksikan sebagai kaum intelektual. Individu maupun kelompok yang dianggap berjasa terhadap kemajuan bangsa dan negara seringkali disebut sebagai pahlawan. Hal ini dapat ditelurusi dari asal kata pahlawan itu sendiri yakni orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pahlawan juga dapat diartikan sebagai orang ataupun kelompok orang yang berjuang dengan gagah berani untuk membela kebenaran dalam rangka menegakkan perdamaian dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam sejarah, baik tingkat nasional maupun internasional tentu kata “Pahlawan” bukan sesuatu yang asing di telinga. Apalagi, bagi Anda yang gemar membaca tulisan seputar sejarah. Di tingkat nasional, misalnya kita mengenal cukup banyak pahlawan sejak pra kemerdekaan sampai post kemerdekaan. Mereka adalah individu-individu yang berjuang melawan ketidakadilan di negeri ini, baik yang dilakukan oleh kaum penjajah maupun pemerintah yang di nilai diktaktor.
Sebelum kemerdekaan, Indonesia memiliki beberapa pahlawan yang paling berani dan jujur serta tidak mau bernegosiasi dengan penjajah. Misalnya Cut Nyak Dhien yang hidupa antara tahun 1848-1908. Ia dilahirkan di Aceh Besar, 12 Mei 1848 dan meninggal dunia di Sumedang Jawa Barat pada tanggal 6 Nopember 1908, dalam usia 60 tahun. Semasa hidupnya dihabiskan untuk berperang melawan penjajah Belanda dan kini namanya diabdikan di sebauh bandara di Nagan Raya, Meulaboh, Aceh besar, (Soraya et al., 2021).
Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, beberapa pahlawan yang dianggap jujur dan berani membela kebenaran. Salah satu contohnya adalah Hoegeng Imam Santoso. Ia dilahirkan di Pekalongan, 14 Oktober 1921 dan meninggal dunia di Jakarta, 14 Juli 2004, dalam usia 82 tahun. Berprofesi sebagai Polisi bahkan sempat menjadi Kapolri sejak 1968-1971 tidak membuatnya lantas mabuk kekuasaan. Ditengah jabatan yang mentereng ia justru menggunakan jabatan tersebut untuk melatih diri hidup sederhana dan melawan ketidakadilan, terutama berkaitan dengan korupsi, (Hidayati et al., 2021).
Di masa jabatannya, ia bahkan sangat jarang menggunakan fasilitas negara yang seharusnya layak untuk dinikmati, teruama sebagai seorang pejabat negara. Dalam menjalankan tugasnya, Hoegeng di kenal jujur, sederhana dan tegas serta lebih memilih kebenaran daripada kebeneran, (Muhasim, 2017).
Selebriti adalah mereka yang terkenal karena memilih profesi sebagai artis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artis adalah orang-orang seperti seniman, pemain film, penyanyi, dan pelukis. Sedangkan selebritis adalah orang yang terkenal atau masyur. Selebritis ini merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris, celebrity, yang berakar dari kata celebrate yang berarti rayakan atau merayakan.
Mereka lebih dikenal publik karena liputan media yang begitu intensif, bahkan saking intensifnya mereka memiliki ruang tersendiri seperti Insert, Kabar-kabari, silet, dan cek & ricek. Mereka rela melakukan apa saja untuk sebuah popularitas. Sebab, dengan tingginya popularitas berbanding lurus dengan penghasilan yang mereka terima, (Pattipeilohy, 2015).
Melalui popularitas tersebut di tengah perjalanan kariernya seringkali dimanfaatkan untuk beralih profesi menjadi politikus. Hal ini dilakukan karena mereka meyakini bahwa namanya sudah terkenal di seluruh nusantara, sehingga dapat dengan mudah meraup suara dalam pemilu. Karena itu, dewasa ini tidak sedikit artis yang beralih profesi menjadi politikus, baik sebagai anggota dewan, gubernur, bupati dan walikota. Pada pemilu 2024 ini ada sejumlah artis yang mencalonkan diri dan terpilih menjadi wakil rakyat. Misalnya, dari PAN sebanyak 18 orang; PDIP dan Perindo sebanyak 15 orang; Nasdem 10 orang; Gerinda 9 orang. Ditingkat daerah, sejumlah artis pun ikut bertarung, baik sebagai DPRD, Gubernur, Bupati/Walikota. Misalnya Krisdayanti, Marshel Widiyanto, Ronald, Gita, Farhan, dan lain-lain (baca selegkapnya di Tempo; Goodstart, Kompas dan Detik.com)
Secara umum, cukup banyak pemilih yang tertarik untuk memilih selebriti, terutama dari kalangan selebriti itu sendiri. Hal ini tentu atas nama kesamaan profesi dan alasan telah mengenal dengan baik kandidat tersebut. Ketika terpilih sebagai wakil rakyat, tentu diharapkan mereka akan berperilaku seperi seorang pahlawan yang berbeda dari para politkus lainnya yang tidak berasal dari latar belakang selebritis, walaupun tidak ada jaminnan bahwa mereka juga lebih baik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Bahkan justru dikhawatirkan mereka akan mudah terseret masalah KKN karena terbiasa dengan gaya hidup (lifestyle) yang glamor, (Pratiwi, 2014); (Efrina & Muradi, 2017).
Pemilih di luar komunitas artis yang memilih dalam pemilu biasanya lebih kepada fans (idola) saat masih menjadi artis. Sehingga, pemilih yang mengidolakan seorang artis seringkali menjatuhkan pilihannya pada artis tersebut. Cara fans mengidolakan seorang artis dapat dilihat dari beberapa segi, seperti kecantikan/kegantengan, pendidikan, dan dari segi sosial. Hanya bermodalkan ketiga faktor tersebut dapat membuat seorang artis terpilih menjadi wakil rakyat,baik tingkat pusat maupun daerah, (Febriyanti & Siahaan, 2022).
Pilkada merupakan sarana bagi rakyat di daerah untuk memilih wakilnya yang akan memimpin daerah selama masa jabatan lima tahun kedepan. Namun, seringkali pilkada ini dijadikan sebagai ajang politik uang (money politic) yang bertujuan untuk meraih suara terbanyak sehingga dapat mengantarkan menuju kursi empuk kepala daerah.
Percaya atau tidak, selama politik masih mengandalkan uang, terutama yang bertujuan untuk “menyogok”, selama itu pula system pemerintahan perwakilan tidak akan berjalan dengan baik. Jika Anda sebagai rakyat bersedia menerima uang sogok, yakinlah para kandidat yang menyogok Anda telah membeli harga diri Anda. Apakah moral, etika, logika dan estetika Anda memberontak? Sebaiknya, sebelum Anda menerima atau menolak sogokan, coba sebentar untuk merenung. Tanyakan kedalam lubuk hati atau hati nurani (berdasarkan ajaran agama masing-masing) yang paling dalam, apakah menyogok dibenarkan dan apa dampak positif dan negatifnya.
Mari kita kawal para wakil rakyat, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Kenali rekam jejaknya melalui pendekatan transparansi. Jika Anda memilih berdasarkan kepentingan yang sempit, percayalah negara ini tidak akan mengalami kemajuan. Pilihan ada di tangan Anda, apakah menginginkan negara ini maju atau berdasarkan kepentingan yang sempit dan belaku dalam jangka waktu pendek.
Penulis: Juri, M.Pd (Mahasiswa Doktoral)