Maraknya Dugaan Praktek Pemalsuan Sertifikat, Somasi Jakarta Desak Copot Ketua Satgas Mafia Tanah Kementerian ATR/ BPN
JAKARTA, Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Satu Indonesia (SOMASI) menyayangkan praktek dugaan pemalsuan sertifikat yang marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan kajian hukum kasus pemalsuan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan data penanganan perkara tahun 2023 se-Indonesia, SOMASI menemukan bahwa terdapat 1.250 kasus pemalsuan sertifikat yang terjadi di seluruh Indonesia.
Menurut Irwan Abd, Hamid, S.H., Koordinator SOMASI Jakarta, menilai bahwa praktek pemalsuan sertifikat ini merupakan bentuk kejahatan yang serius dan merugikan masyarakat. Kejahatan ini dapat mengakibatkan masyarakat kehilangan hak atas tanahnya dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.
Ia, menjelaskan bahwa Satgas Mafia Tanah yang dibentuk oleh pemerintah tidak efektif dalam menangani kasus-kasus pemalsuan sertifikat. Hal ini terlihat dari masih banyaknya kasus pemalsuan sertifikat yang terjadi di Indonesia.
Oleh karena itu, Irwan meminta kepada pemerintah pusat untuk mencopot Kepala Satgas Mafia Tanah. Hasil kajian dan secara komprehensif menilai bahwa Kepala Satgas Mafia Tanah telah gagal dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas mafia tanah.
Irwan juga meminta kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pertanahan di Indonesia. Bahwa sistem pertanahan di Indonesia masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk melakukan kejahatan Pidana.
Pemalsuan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
"(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang ada, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat itu asli, diancam, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama enam tahun."
"(2) Jika surat palsu atau dipalsukan itu digunakan sebagai alat bukti dalam suatu perkara, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemalsuan sertifikat di BPN merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja membuat atau memalsukan surat sertifikat yang ada dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah surat tersebut asli. Tindak pidana ini dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain, baik secara materiil maupun imateriil.
Data Penanganan Perkara Pemalsuan Sertifikat di BPN Tahun 2023
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia, jumlah perkara pemalsuan sertifikat yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 1.250 perkara. Dari jumlah tersebut, sebanyak 900 perkara telah diselesaikan, dengan rincian 650 perkara diputus bebas, 250 perkara diputus bersalah, dan 100 perkara masih dalam proses penanganan.
Berikut adalah beberapa rekomendasi SOMASI Jakarta untuk mengatasi praktek pemalsuan sertifikat:
Segera copot Kepala Satgas Mafia Tanah. Kemudian, harus dilakukan pengawasan terhadap proses penerbitan sertifikat di BPN, dan melakukan reformasi sistem pertanahan di Indonesia, termasuk dengan memperkuat penegakan hukum dan meningkatkan transparansi proses pertanahan.
Selain itu, Somasi Jakarta prihatin dengan kasus-kasus pertanahan yang dimiliki masyarakat adat, contohnya kasus tanah adat di daerah Kota Depok. Pada tanggal 10 Oktober 2023, warga ahli waris tanah adat Kampung Bojong-Bojong Malaka mendatangi Gedung DPR untuk mengadukan sengketa tanah dalam Proyek Strategis Nasional Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Kota Depok. Warga mengeluhkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang dianggap tak mendukung penyelesaian sengketa.
Warga mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat mereka yang telah diwariskan turun-temurun. Namun, tanah tersebut kemudian diklaim oleh UIII sebagai tanah negara. Warga pun menuntut agar sengketa tanah tersebut segera diselesaikan secara adil dan transparan.
SOMASI Jakarta memandang bahwa kasus tanah adat di Kota Depok ini merupakan salah satu contoh dari maraknya kasus pertanahan yang dialami oleh masyarakat adat di Indonesia. SOMASI Jakarta mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus ini dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanahnya.
SOMASI Jakarta juga mengajak masyarakat untuk terus berjuang mempertahankan hak-hak penguasaan atas tanahnya. SOMASI Jakarta siap untuk mendukung perjuangan masyarakat tersebut, tutupnya.***