Ir. Elias Pigome, S.T Alumni Universitas Trisakti Berniat Maju Bupati Deiyai Pilkada Serentak 2024
JAKARTA- Ir Elias Pigome lahir dari sebuah keluarga sederhana. Orangtuanya petani kecil pedalaman Papua di Deiyai, Papua Tengah.
" Saya lihat teman-teman ke sekolah pakai seragam. Tuhan sungguh baik. Berkat usaha dan doa oleh orangtua, saya berjuang hingga meraih gelar sarjana, ujar Elias Pigome. Kepada media, Senin (18/03/24).
Di tengah kebun, Elias merenung. Apakah kedua orangtuanya, Benidiktus Pigome dan Paola Waine, mampu menyekolahkan dia bersama rekan lainnya sekampung. Akses pendidikan kala itu sangat sulit, bayangkan pedalaman Papua. Elias waktu kecil juga masih mengenakan koteka namun keinginannya menjulang agar segera berseragam sekolah seperti teman-teman seusianya.
Elias menyemangati dirinya dan bertekad berjalan kaki ke kampung lain sekedar meneruskan sekolah dasar. Apalagi bukan butuh satu atau dua jam tetapi lebih dari dua hari berjalan kaki ke kampung tetangga. Namun, ada semangat dengan kalimat “sekolah itu penting” muncul begitu saja dalam benaknya dan diyakini sebagai suara Tuhan. Tuhan menunjukkan jalan kasih-Nya bagi keluarga Elias Pigome.
Bapa dan mama saya petani kecil. Mereka tinggal dan mengolah kebun milik mereka di Wogaida dan Damaiye, Kampung Wagomani dan di Pekopa, Dusun Kebodagi, Kampung Widuakiya, Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai serta bersama keluarga Martinus sebagai orangtua berkebun di Epodoba, Kampung Mauwa, Distrik Kamuu, Dogiyai, ujar Ir Elias Pigome, S.T yang bermukim di pedalaman Papua, Waghete, kota Kabupaten Deiyai, Papua Tengah.
Niat sekolah
Semasa bocah, Epi —sapaan akrab Elias Pigome— tenggelam dalam rutinitas kedua orangtuanya di pedalaman Papua tepatnya di dusun Kebodagi, Kampung Digibata, Distrik Tigi Barat, Deiyai. Epi menghabiskan masa kecil di tengah kebun dalam alam Deiyai mempesona. Ia mengaku, sebelum melangkah masuk SD, masih mengenakan koteka kecil.
“Saat itu, saya melihat anak-anak lain ke sekolah. Suatu hari, saya dalam hati muncul pikiran bahwa sekolah itu penting. Lalu, sambil menangis di depan bapa dan mama untuk disekolahkan. Orangtua setuju lalu saya jatuhlah air mata saya, kata Epi, sarjana Teknik Pertambangan lulusan Universitas Trisakti, Jakarta dan tokoh muda Papua Tengah asal Deiyai kelahiran 15 April 1986 mengenang.
Namun, sang bunda Paola Waine, mengusulkan agar nanti senin minggu depan baru ke sekolah. Pas hari pertama masuk sekolah. Tak ada alasan mengapa mesti minggu depan baru Epi diijinkan masuk sekolah dasar. “Mama diam-diam pergi ke Moanemani, ibu kota Distrik (kecamatan) Moanemani (kini kota Kabupaten Dogiyai). Mama jalan kaki selama dua malam untuk beli baju, celana, buku, dan bolpen supaya saya disekolahkan sekolah dasar,” dengan intonasi suara rendah.
Epi mengaku tahun 1990 adalah pengalaman mengharukan bagi dirinya sebagai seorang anak kecil yang lahir dan berada di tengah keluarga namun jauh dari akses pendidikan. Karena itu, saat sang bunda berjalan kaki pulang-pergi dari kampung Kebodagi, Digibata Deiyai menuju Moanemani selama dua malam, menjadi pengalaman yang membekas hingga saat ini.
“Saat seragam dibeli mama saya sangat senang. Bersama teman-teman sesama anak kampung yaitu Yakobus Pigome, Yulianus Pigome dan Piet Pigome serta Andriana Pigome dari Kebodagi kami masuk sekolah di SD YPPK Wagomani. Di sekolah ini sudah ada Yulianus Pigome di kelas 3 dalam rekan sekolah tersebut,”.
Semangat belajar anak-anak kampung ini menyala-nyala. Di tengah berbagai keterbatasan terutama soal biaya pendidikan tak memadamkan semangat. Epi mengaku terus belajar di bawah bimbingan guru-guru andalan dari SD YPPK Wagomani, Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai.
Kata-kata saat ia masih berada di tengah kebun: “sekolah itu penting” selalu teringat setiap saat di kebun dan honai (rumah adat). Epi dan teman-teman akhirnya merampungkan studi di SD YPPK Wagomani tahun 1996. Epi bersama teman-temannya berhasil menuntaskan sekolah dasar setelah melewati aneka tantangan, terutama biaya sekolah.
Kerinduan untuk sekolah
Semangat dan niat melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi tak pernah diam. Epi masuk SMP Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Waghete. Berjalan ke Waghete, (saat ini) kota Kabupaten Deiyai, ia mencatatkan diri sebagai siswa baru.
“Kita sudah daftar hari pertama. Saya kemudian bermalam di rumah salah satu keluarga. Saat bangun pagi, tuan rumah menyampaikan pesan kepada saya. Adik Elias nanti cari tempat (rumah) lain untuk tempat tinggal. Saya menangis karena tidak ada tempat tinggal untuk melanjutkan pendidikan di Waghete,”.
Epi sangat terpukul. Ia sempat putus asa karena tidak ada tempat tinggal untuk melanjutkan pendidikan di SMP YPPK Waghete. Tahun 1996, ia memutuskan keluar dari sekolah itu lalu kembali ke kampung halaman di Kebodagi.
Tak lama berselang waktu, ia menceritakan suatu waktu muncul keinginan merantau ke luar kampung. Pilihannya, Obaibega, salah satu kampung di Distrik Kamuu Selatan, Kabupaten Dogiyai. Di kampung itu ia tinggal dengan kerabat kurang lebih satu bulan.
Saya dan Adik Damianus Pigome pergi ke Epiyomakida, Digiyaugi dan tinggal selama tiga minggu. Di sini, saya dan rekan ini berbaur dengan masyarakat setempat untuk ikut memasang atap Gereja Katolik pakai alang-alang,”. Gereja tersebut mungkin kamilah orang pertama yang bangun gereja.
Dari Epiyomakida Digiyaugi, Epi kembali lagi ke Obaibega. Kerinduan dan niat melanjutkan sekolah selalu muncul dalam benak. Remaja Epi berpikir lalu mulai mengumpulkan kayu bakar untuk dijual dengan harapan dapat melanjutkan pendidikan. Dari hasil jual kayu bakar, ia meraup keuntungan Rp.100ribu lebih.
Pada bulan Desember 1996 Epi bertemu rekannya, Agus. Agus menyampaikan ke Epi, ia hendak ke Mauwa. Tanpa pikir panjang Epi menemani Agus ke Mauwa lalu bermalam di rumah Martinus Tebai dan Belandina Pigome.
“Suatu malam Agus menyampaikan kalau Elias berkeinginan besar melanjutkan pendidikan ke SMP dan pernah juga sekolah di SMP di Waghete. Tapi, di sana tidak ada tempat tinggal sehingga dia berhenti. Saat itu, Martinus langsung bilang, siap-siap agar bisa sekolah tahun depan (1997) masuk di SMP Negeri 1 Mowanemani dan dibiayai oleh Keluarga Martinus Tebai, ujar Epi, tokoh muda yang hobi membaca, menulis, berdiskusi, dan naik gunung.
Menurut Epi, ia kemudian meninggalkan Mauwa menuju Moanemani. Sembari sekolah di SMP Negeri 1 Mowanemani, ia nyambi belajar dan membantu memelihara sekaligus menjual kelinci untuk membayar biaya sekolahnya. Usaha kelinci itu dirintis Ir. Didimus Tebai, pemilik Yayasan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Perindustrian Mowanemani (YP5). Epi akhirnya lulus SMP Negeri 1 Mowanemani tahun 2000.
Semangat tidak berhenti
Dari Mowanemani, semangat Epi menjulang lalu ia menuju Timika, kota Kabupaten Mimika. Ia masuk SMA Negeri 1 Mimika Timur (kini SMA Negeri 1 Timika) 2000 hingga lulus 2003. Saat ia duduk di kelas 3, ia mendengar kabar ada seleksi masuk seminari. Epi tak menyia-nyiakan kesempatan itu karena sejak SD ia memendam cita-cita menjadi pastor, pelayan Sabda.
“Saat itu, saya siswa pertama yang mendaftar untuk masuk seminari. Namun, tiba-tiba guru Agama bilang, ‘Elias, orang suku Mee itu banyak pastor. Jadi, saat ini untuk jadi pastor dan guru Agama diprioritaskan untuk anak-anak muda suku Amungme dan Kamoro. Saat itu, saya jatuh air mata karena cita-cita jadi pastor kandas, kata Epi sembari tertawa.
Meski buntung masuk seminari, Epi untung karena berniat masuk sekolah calon pilot. Celakanya saat ini, test masuk pilot berlangsung di Dok 9 Jayapura. Ia tak punya cukup uang naik pesawat ke Jayapura. Sehari kemudian, ia bertemu kerabatnya, Melkias Pigome. Melkias siap mencari jalan keluar agar ada biaya tiket ke Jayapura.
“Melkias bicara dengan Alpius Pigome untuk belikan saya tiket ke Jayapura. Saya berpikir kalau lulus tes akan dibiaya dari Lembaga Pendidikan Masyarakat Irian Jayara, LPMI. Saat itu, LPMI sedang bersiap untuk berubah jadi Amungme Kamoro atau AMOR sebelum akhirnya jadi LPMAK. Sayang, saya gagal tes pilot karena tinggi badan kurang 3 cm. Saya benar-benar terpukul karena gagal lagi, kata Epi.
Dari Jayapura, Epi kembali ke Timika. Ia merasa sedih karena cita-cita jadi pastor atau pilot seperti menggenggam angin. Namun, di saat bersamaan ada jalan Tuhan. Melalui Anton Ukago, Epi disarankan melamar ke PT Freeport Indonesia. Kalau diterima bisa saja suatu waktu ada peluang untuk ijin dari perusahaan melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri.
Mulai hari ini (2003), Epi cari kerja di Freeport. Setelah jadi karyawan tetap Elias biaya sendiri pergi ke Jawa untuk kuliah di sana. Tapi, ingat satu waktu Distrik Tigi dimekarkan jadi Kabupaten Deiyai. Di sana Elias siapkan diri masuk calon Bupati dan kalau mendapat restu Tuhan dan dukungan warga, Elias bisa jadi Bupati Deiyai,” kata Epi mengulang kata-kata Ukago.
Doa dan dukungan Ukago adalah jalan Tuhan. Juni 2004, Epi jadi kandidat Pra-Magang (Pre-Apprentice) di Institut Pertambangan Nemangkawi, Freeport. Program ini saat itu menerima 32 calon anak muda dari tujuh suku asli yaitu Suku Amungme, Kamoro, Damal, Dani, Moni, Nduga dan Mee. Bulan Juli Epi mengikuti tes wawancara yang dilakukan apprentice admin.
“Saya ingat betul pertanyaan pertama Pak Theo Wamafma, Ibu Rona Rumsarwir, dan Pak Dennij Rumayomi. Mengapa tertarik menjadi apprentice admin? Coba ceritakan!’ Saya jawab singkat, demi masa depan yang lebih cerah. Pertanyaan selanjutnya soal komponen komputer. Saya jawab enteng kecuali saya lupa hard disk, ujar Epi.
Peluang kian terbuka
Epi menceritakan, pada April 2005, ia mendapat kesempatan on job training, OJT di drill and blast engineering, Grasberg Operation. OJT berlangsung selama dua tahun sebelum proses transfer dari apprentice admin menjadi karyawan permanen Freeport tepatnya 13 November 2006.
“Saya berdiam diri dan khusuk dalam doa. Saya sungguh menyadari karya Tuhan Ajaib melalui doa saya dan doa orangtua saya di kampung. Sejak itu, saya memberanikan diri memohon kepada pimpinan untuk disekolahkan melalui Program Scholarship dari Quality Management Services, QMS (kini Learning and Organization Development, LOD). Pimpinan mengetujui dan pikiran saya langsung ke Jakarta meski tak pernah bayangkan seperti apa nanti kalau sudah di Ibukota Jakarta, kata Epi.
Tahun 2007 Epi tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Tiba di bandara ia bingung. Maklum tidak ada keluarga atau kerabat. Air matanya jatuh karena tak bertemu satu pun orang Papua. Tiba-tiba muncul nomor baru masuk di handphone.
“Pemilik nomor itu tanya, ade Epi sekarang di mana!’ Saya balik tanya, ‘ini dengan siapa!’ Ini dengan kakamu, Akulian Bobii. Bobi saat itu di Yogyakarta. Saya sampaikan, lagi kesulitan di Jakarta. Dia bilang saya, sabar sebentar. Bobii hubungkan saya dengan Siprianus Bunai lalu kami bertemu di UKI Jakarta Timur. Saya lega karena sudah bertemu orang Papua di Jakarta. Saya cerita Bunai kalau saya mau ikut tes di Teknik Pertambangan, UPN Yogyakarta, kenang Epi.
Dari UKI di Cawang, Jakarta Timur, Epi dan Bunai naik bus ke Grogol, Jakarta Barat untuk bertemu Luther Magal, mahasiswa senior asal Papua di Teknik Geologi, Universitas Trisakti. Bunai dan Luther menyarankan Epi tes masuk di Teknik Pertambangan, Universitas Trisakti.
“Saya putuskan test masuk Universitas Trisakti dan diterima setelah panitia melihat nilai rapor SMA. Rencana Tuhan baik karena lewat doa dan usaha Bunai dan Luther tahun 2007 saya diterima di Teknik Pertambangan hingga meraih gelar S1 Teknik Pertambangan tahun 2012, katanya.
Ke Lereng Nemangkawi
Usai merampungkan kuliah, Epi kembali meneruskan tugasnya di UG QAQC Engineering, kini Underground Geotechnical Services, GeoEngineering Divisi Freeport sejak tahun 2013 hingga saat ini. Sebelumnya ia sempat bekerja di surface mining, tambang terbuka. Awalnya, ia tertantang bekerja di tambang bawah tanah (underground) di dalam perut gunung Nemangkawi. Epi mengaku, bekerja di underground tidak sama dengan bekerja tambang terbuka.
“Saya kesulitan menghafal area kerja, akses masuk di underground. Saya berpikir dalam hati suatu saat akan saya bisa dan tahu area kerja underground. Saya terus belajar menghafal akses jalan underground dan bagaimana mekanisme kerjanya. Memang tidak mudah penuh tantangan dan resiko. Intinya, tetap semangat belajar memperoleh ilmu. Saya bangga karena jadi pre-apprentice kemudian jadi apprentice. Ini cara saya merasul meski gagal jadi pastor, ujar Epi.
Perjalanan panjang karir dan totalitas pengabdian Epi di bidang pertambangan membuatnya tetap ingat tanah kelahirannya, Deiyai. Berbagai kemajuan yang telah dicapai sejak Deiyai berdiri hingga kini dipimpin Bupati Ateng Edowai, melahirkan niatnya masuk dalam bursa Calon Bupati, Pilkada tahun 2024.
Setelah berdoa dan berefleksi, saya memutuskan niat mengabdikan diri di Deiyai. Namun, jalan satu-satunya adalah lewat Pilkada. Saya berniat mendedikasikan ilmu dan pengalaman yang sudah saya peroleh selama ini. Deiyai mesti ditata lebih baik lagi. Saat ini, dunia sangat terbuka dan teknologi sudah sangat maju. Deiyai perlu terobosan baru dan perubahan untuk semua dari tangan pemimpin dengan kualifikasi dan pengalaman mumpuni, ujar Epi.
Menurut Epi, niat ini tentu bukan sekadar basa basi namun ditopang berbagai faktor. Niatnya berpijak doa dan kerinduan besar agar masyarakat dan daerah itu selangkah lebih maju. Epi juga menegaskan, dalam refleksinya ia berkesimpulan Deiyai tak pernah kekurangan orang hebat dan pintar berhati tulus dalam pemerataan pembangunan Deiyai.
Meski demikian, topografi yang berat menjadi persoalan lain yang bukan hanya diselesaikan dengan topangan APBD II dan APBD I tetapi juga dukungan pemerintah pusat melalui APBN. Selama ini, generasi muda Deiyai dan Papua Tengah juga sudah membuktikan, meski berbagai kampung maupun distrik masih terisolasi dan jauh dari sentuhan anggaran mampu ditaklukkan banyak generasi muda melalui pendidikan memadai.
Saya sudah meniatkan diri maju dalam bursa Pilkada tahun 2024 sebagai calon bupati Deiyai, pedalaman Papua demi ikut memajukan tanah leluhurnya bersama masyarakat dan seluruh elemen. Bila Tuhan berkehendak baik, di tangan pemimpin yang tulus dan berjejaring luas Deiyai tentu selangkah akan lebih maju dalam slogan Deiyai untuk Semua, Ayo Sekolah Ayo Kuliah dengan melihat, mendengar dan merasakan penderitaan dan keluhan rakyat Deiyai, katanya.
Nama lengkap : Ir. Elias Bidaugi Pigome, S.T
Lahir : Kebodagi,15 April 1986
Email : bidaugie@gmail.com
Hobi : Menulis lepas; Membaca, Olahraga, Adventure, dan Volly Ball
Moto hidup : Manusia hidup untuk menghidupkan orang lain, maka berbagi kasih dan tegakkan kejujuran demi perubahan untuk bangsa.
“Sukses itu milik semua orang, maka raih kesuksesan itu. Dan, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, sebab di mata Sang Pencipta kita sama dan satu. Ingat Sang Pencipta, sebab Sang Pencipta ada dalam setiap langkah hidup”.
Maka, “tegakkan Kejujuran demi perubahan dan terobosan baru untuk bangsa dalam segala bidang sesuai dengan kemampuan yang diberikan oleh Pencipta kepada kita. Ingat pula, MEMBANGUN MANUSIA lebih penting ketimbang MEMBANGUN FISIK”
Pendidikan
SD YPPK Wagomani, Distrik Tigi, Deiyai, 1990-1996
SLTP YPPK Waghete, Deiyai, (sehari dan putus sekolah), 1996-1996
SLTP Negeri 2 Timika, Mimika, 1997-1999
SMU Negeri 1 Mimika Timur, Mimika, 2000-2003
S1 Teknik Pertambangan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2007- 2013
Profesi Insinyur Universitas Muslim Indonesia, Makassar, 2021
Insinyur Profesional Pratama, Persatuan Insinyur Indonesia, 2022
Pendidikan informal
Pelatihan Komputer Skill di Mercy Training Center (MTC), 2002-2003
Institute Mining Nemangkawi as Pre-Apprenticeship, 2004-2005
Institute Mining Nemangkawi as Admin, Apprenticeship Program, 2005-2006
Kunjungan Kerja di LIPI Kebumen, Karang Sambung, Jawa Tengah, 2008
Kunjugan Kerja di PT Indocement, Jawa Tengah, 2008
Kunjugan Kerja di PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Palembang, 2009
Kunjugan Kerja di PT Timah, Bangka Belitung, 2010
Kunjugan Kerja di PT Aneka Tambang Pongkor, Bogor, 2010
Pelatihan Pengendalian Kualitas pada Proyek Konstruksi (Quality Control of Work) di PT MBT Bandung, 2015
Pelatihan Pengawas Operasional Pertama, Kementerian ESDM, Jakarta, 2016
Pelatihan Supervisor as leader, Academic Leadership LOD, 2017
Pelatihan Supervisor On boarding, Academic Leadership LOD, 2017
Pelatihan Coarching for supervisor, Academic Leadership LOD, 2017
Pelatihan leadership situational, Academy Leadership LOD, 2019
Pelatihan Self-leadership: Personality Perspective, Academy Leadership LOD, 2023
Pengalaman kerja
1. Karir pemerintah NA
2. Karir non pemerintah
3. Chief Engineer, GeoEnginering, PT Freeport Indonesia, 2007 – sekarang.
Pengalaman Organisasi.
1. Ketua Umum, Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa Deiyai (Forkopmade) Se-Jawa-Bali, 2011-2013.
2. Staff Strategis, Himpunan Mahasiswa Teknik Tambang di Universitas Trisakti, 2010-2011.
3. Anggota, Himpunan Mahasiswa Teknik Tambang di Universitas Trisakti, 2007-2013
Pembina, Ikatan Keluarga Besar Debey Se-Tanah Papua berkedudukan di Deiyai, Papua Tengah, 2009-sekarang.
4. Sekretaris, Ikatan keluarga Besar Debey di Timika, 2006-2007.
Publikasi.
Penderitaan Pendidikan di Pedalaman Papua, 2011 Optimalisasi Pengemboran dan Peledakan dengan Menggunakan Data Laju Pengeboran Langsung (IPR-Instantaneous Penetration Rate) di Tambang Terbuka, PT Freeport Indonesia (Internal Skripsi), 2013 Evaluasi Peningkatan Kualitas Grouting, Tambang Bawah Tanah PT Freeport Indonesia (Internal keinsinyuran), 2021
Penghargaan.
Pembina Ikatan Keluarga Besar Debey, Timika, 2011 dan Penghargaan sebagai Senior Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Debey di Timika, 2021