Agus Sutisna; Meluruskan Sesat Pikir Soal Debat
“…saling serang nggak apa-apa, tapi kebijakan, policy, visinya yang diserang bukan untuk saling menjatuhkan dengan motif-motif personal. Saya kira nggak baik dan nggak mengedukasi.” Demikian komentar Presiden Jokowi soal debat Pilpres yang kian panas.
Pada bagian lain komentarnya, Jokowi juga menyinggung soal pentingnya visi-misi Paslon yang harus dikedepankan. Bukan saling serang dan saling menjatuhkan dengan motif pribadi. Tapi justru aspek substansi, visi misi ini tidak kelihatan.
Hemat saya, sedikitnya ada tiga poin penting dari tanggapan Presiden itu. Pertama, debat harus mengedepankan substansi dari visi misi. Kedua debat tidak boleh saling serang dengan motif personal. Saling serang boleh dilakukan tetapi hanya terkait substansi, visi-misi, kebijakan dan program. Ketiga, debat harus mengedukasi, harus mendidik masyarakat.
Jokowi Clear
Clear, ketiga poin tanggapan Presiden itu sahih berdasarkan peraturan perundang-undangan Pemilu. Sebagai bagian dari metode kampanye, debat Paslon memang mengusung materi visi-misi masing-masing Paslon (Pasal 275 ayat 1 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu).
Selain itu, untuk materi debat secara khusus diatur dalam Pasal 277 ayat ayat (5) UU yang sama. Yakni “Visi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD RI Tahun 1945: a. melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia; b. memajukan kesejahteraan umum; c. mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Presiden juga benar bahwa debat tidak boleh saling serang dengan motif personal. Meski tidak secara eksplisit menyebut istilah “serang, menjatuhkan”, dalam Pasal 280 UU Pemilu dicantumkan sejumlah larangan dalam kegiatan kampanye (termasuk debat tentu saja). Salah satu larangan itu tertuang dalam ayat (1) huruf c, yakni: “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain”.
Terakhir soal debat harus mengedukasi, Presiden juga benar. Di dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu juga dinyatakan dengan jelas, bahwa “Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab”.
Sesat Pikir
Bertolak dari norma-norma perundangan terurai di atas, tulisan ini bermaksud mengoreksi sekaligus meluruskan beberapa pikiran keliru seputar debat yang saat ini berkembang dalam masyarakat. Setidaknya ada 4 (empat) pikiran keliru yang perlu dikoreksi dan diluruskan.
Pertama, debat harus dianggap cukup sebagai forum untuk menyampaikan Visi-Misi dan Program. Pikiran ini keliru. Debat seperti dimaknai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Jika visi-misi dan program hanya disampaikan secara monolog, apalagi dalam durasi waktu yang sangat terbatas, publik tidak mungkin memahami secara utuh substansi dan esensinya. Cara monolog juga tidak memberi ruang kepada rakyat untuk mempertanyakan atau mandalami satu atau lebih isu terkait visi-misi dan program itu.
Apalagi mengelaborasi dan mengeksplorasi gagasan-gagasan visioner atau solusi-solusi yang ditawarkan para kandidat untuk menyelesaikan ragam persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Bagi para kandidat sendiri pendekatan monolog juga tidak akan memberikan feedback terhadap apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka gagas dan tawarkan kepada masyarakat.
Kedua, debat tidak boleh menjadi forum untuk mengevaluasi kinerja. Ini juga idem ditto kelirunya. Sekali lagi, debat adalah ajang untuk mengeksplorasi gagasan, termasuk gagasan yang mungkin sudah pernah ditawarkan seorang kandidat dan dilaksanakannya dalam posisi terakhir dia memimpin. Karena itu evaluasi justru menjadi wajib.
Dalam konteks debat, evaluasi dilakukan untuk memeriksa dan menguji perihal apapun yang sudah dilakukan oleh seorang kandidat dalam posisi terakhirnya sebelum ia maju sebagai calon Presiden. Entah sebagai Walikota, Gubernur, Menteri, atau Legislator, atau profesi lain terutama yang berhubungan dengan urusan publik. Bahwa kemudian evaluasi ini menyasar pula rekam jejak para kandidat, inilah esensi debat sebagai cara untuk mendapatkan kandidat pemimpin terbaik dari stok yang tersedia.
Ketiga, debat tidak boleh saling menyerang dan saling membantah. Ini juga keliru dan melawan logika terminologis. Sekali lagi, debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu isu dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Pertukaran pendapat, argumen dan kontra-argumen itu artinya debat memang niscaya saling serang, saling membantah. Apa yang dibahas dan dipertukarkan dengan argumen masing-masing ? Tentu saja gagasan, pikiran, pendapat, rancangan kebijakan atau program, bukan isu-isu personal. Makanya secara sederhana kerap dikatakan, bahwa debat hakekatnya adalah “adu gagasan”.
Dengan cara demikian, publik bisa membaca, memahami sekaligus menakar seberap kuat dan meyakinkan gagasan para kandidat, seberapa relevan dan realistis rancangan kebijakan mereka, dan seberapa nyambung dengan aspirasi rakyat dan kebutuhan kini dan esok hari. Debat adalah cara sehat elektoral untuk memastikan rakyat tidak terjebak dalam kebiasaan transaksi gelap “beli kucing dalam karung”!
Keempat, kekeliruan berpikir yang terakhir adalah menganggap debat sekedar wacana dan mimpi-mimpi. Pemilu adalah hajat hari ini untuk kepentingan hari esok. Hajat untuk memilih pemimpin yang akan menakhodai negara-bangsa dalam rentang waktu tertentu ke depan. Sebagai calon nakhoda kapal besar republik ini, mereka wajib mengemukakan kepada rakyat perihal apa saja yang akan dilakukannya jika mendapat mandat kelak.
Kandidat yang tidak berkenan, tidak sanggup, minggir “Wir”. Karena ini negara demokrasi. Rakyat berhak atas gagasan dan rancangan-rancangan programatik calon pemimpinnya. Perkara ada di antara para pemilih yang menganggap bahwa yang ditawarkan mereka hanya “omon-omon”, jualan mimpi, retorika dan sejenisnya, fakta ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa debat kemudian dicap sekedar wacana.
Debat adalah forum, ruang publik dimana rakyat sesungguhnya sedang mendesak para kandidat untuk menjelaskan apa yang akan mereka lakukan jika terpilih. Dan ini adalah cara untuk memastikan bahwa rakyat tidak sedang memberikan “cek kosong” kepada para kandidat. Cek yang kelak bisa seenaknya mereka isi sendiri setelah terpilih